Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Vulnus Laceratum

Laporan Pendahuluan Vulnus Laceratum

LAPORAN PENDAHULUAN
VULNUS LACERATUM

A.      Tinjauan teori
1.        Pengertian.
Mansjoer (2000) menyatakan “Vulnus Laseratum merupakan luka terbuka yang terdiri dari akibat kekerasan tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot”.
Vulnus Laseratum ( luka robek ) adallah luka yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul , robekan jaringan sering diikuti kerusakan alat di dalam seperti patah tulang. (http://one.indoskripsi.com)

2.        Penyebab.
Vulnus Laseratum dapat di sebabkan oleh beberapa hal di antaranya :
1)      Alat yang tumpul.
2)      Jatuh ke benda tajam dan keras.
3)      Kecelakaan lalu lintas dan kereta api.
4)      Kecelakaan akibat kuku dan gigitan”.

3.        Anatomi dan Pathofisiologi.
1)      Kulit.
Price 2005 menyatakan “Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan epidermis, dermis, lemak subkutan. Kulit melindungi tubuh dari trauma dan merupakan benang pertahanan terhadap bakteri virus dan jamur. Kulit juga merupakan tempat sensasi raba, tekan, suhu, nyeri dan nikmat berkat jahitan ujung syaraf yang saling bertautan”.
a.    Epidermis bagian terluas kulit di bagi menjadi 2 bagian lapisan yaitu :
1)        Lapisan tanduk (stratum konsum) terdiri dari lapisan sel-sel tidak ber inti dan bertanduk.
2)        Lapisan dalam (stratum malfigi) merupakan asal sel permukaan bertanduk setelah mengalami proses di ferensiasi .
b.    Dermis
Dermis terletak di bawah epidermis dan terdiri dari seabut-serabut kolagen elastin, dan retikulum yang tertanam dalam substansi dasar. Matrik kulit mengandung pembuluh pembuluh darah dan syaraf yang menyokong nutrisi pada epidermis. Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit. Limfosit sel masuk dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan infeksi dan instansi benda-benda asing. Serabut-serabut kolagen, elastin khusus menambahkan sel-sel basal epidermis pada dermis.
c.    Lemak Subkutan
Price (2005) menyatakan “Lemak subkutan merupakan lapisan kulit ketiga yang terletak di bawah dermis. Lapisan ini merupakan bantalan untuk kulit isolasi untuk mempertahankan daya tarik seksual pada kedua jenis kelamin”.
2)      Jaringan Otot
Otot adalah jaringan yang mempunyai kemampuan khusus yaitu berkontraksi dengan sedemikian maka pergerakan terlaksana. Otot terdiri dari serabut silindris yang mempunyai sifat sama dengan sel dari jaringan lain.semua sel di ikat menjadi berkas-berkas serabut kecil oleh sejenis jaringan ikat yang mengandung unsur kontaktil.
3)      Jaringan Saraf
Jaringan saraf terdiri dari 3 unsur:
a.    Unsur berwarna abu-abu yang membentuk sel syaraf.
b.    Unsur putih serabut saraf.
c.    Neuroclea, sejenis sel pendukung yang di jumpai hanya dalam saraf dan yang menghimpun serta menopang sel saraf dan serabut saraf. Setiap sel saraf dan prosesnya di sebut neuron. Sel saraf terdiri atas protoplasma yang berbutir khusus dengan nukleus besar dan berdinding sel lainnya.berbagai juluran timbul (prosesus) timbul dari sel saraf, juluran ini mengantarkan rangsangan rangsangan saraf kepada dan dari sel saraf.
4.        Tipe Penyembuhan luka
Menurut Mansjoer, terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.
1)        Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
2)        Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
3)        Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir.

5.        Pathofisiologi
Vulnus laserrratum terjadi akibat kekerasan benda tumpul, goresan, jatuh, kecelakaan sehingga kontuinitas jaringan terputus. Pada umumnya respon tubuh terhadap trauma akan terjadi proses peradangan atau inflamasi.reaksi peradangan akan terjadi apabila jaringan terputus.dalam keadaan ini ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat hebat. Penyebabnya cepat yang di sebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang di koordinasikan dengan baik yang dinamis dan kontinyu untuk menimbulkan reaksi peradangan maka jaringan harus hidup dan harus di mikrosekulasi fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas maka reaksi peradangan tak di temukan di tengah jaringan yang hidup dengan sirkulasi yang utuh terjadi pada tepinya antara jaringan mati dan hidup.

Nyeri timbul karena kulit mengalami luka infeksi sehingga terjadi kerusakan jaringan.sek-sel yang rusak akan membentuk zat kimia sehingga akan menurunkan ambang stimulus terhadap reseptormekano sensitif dan hernosenssitif. Apabila nyeri di atas hal ini dapat mengakibatkan gangguan rasa nyaman nyeri yang berlanjut istirahat atau tidur terganggu dan terjadi ketertiban gerak.

6.        Manifestasi Klinis
Mansjoer (2000) menyatakan “Manifestasi klinis vulnus laseratum adalah:
1)        Luka tidak teratur
2)        Jaringan rusak
3)        Bengkak
4)        Pendarahan
5)        Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasanya di daerah rambut
6)        Tampak lecet atau memer di setiap luka”.

7.        Pemeriksaan Penunjang
1)      Pemeriksaan diagnostik yang perlu di lakukan terutama jenis darah lengkap.tujuanya untuk mengetahui tentang infeksi yang terjadi.pemeriksaannya melalui laboratorium.
2)      Sel-sel darah putih.leukosit dapat terjadi kecenderungan dengan kehilangan sel pada lesi luka dan respon terhadap proses infeksi.
3)      Hitung darah lengkap.hematokrit mungkin tinggi atau lengkap.
4)      Laju endap darah (LED) menunjukkan karakteristik infeksi.
5)      Gula darah random memberikan petunjuk terhadap penyakit deabetus melitus 

B.             Asuhan Keperawatan
1.      Fokus Pengkajian
Doenges (2000, p.217) menyatakan bahwa untuk mengkaji pasien dengan vulnus laseratum di perlukan data-data sebagai berikut:
1)             Aktifitas atau istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah.
Tanda : perubahan kesadaran, penurunan kekuatan tahanan keterbatasaan rentang gerak, perubahan aktifitas.
2)             Sirkulasi
Gejala : perubahan tekanan darah atau normal.
Tanda : perubahan frekwensi jantung takikardi atau bradikardi.
3)             Integritas ego
Gejala : perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : ketakutan, cemas, gelisah.
4)             Eliminasi
Gejala : konstipasi, retensi urin.
Tanda : belum buang air besar selama 2 hari.
5)             Neurosensori
Gejala : vertigo, tinitus, baal pada ekstremitas, kesemutan, nyeri.
Tanda : sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, pusing, nyeri pada daerah cidera , kemerah-merahan.
6)             Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri pada daerah luka bila di sentuh atau di tekan.
Tanda : wajah meringis, respon menarik pada rangsang nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa tidur.
7)             Kulit
Gejala : nyeri, panas.
Tanda : pada luka warna kemerahan , bau, edema.

2.      Diagnosa Keperawatan
1)        Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d diskontuinitas jaringan.
2)        Gangguan istirahat tidur kurang dari kebutuhan b/d nyeri.
3)        Gangguan eliminasi BAB b/d kelemahan fisik.
4)        Gangguan mobilitas fisik b/d kelemahan otot.
5)        Gangguan integritas kulit b/d kerusakan jaringan.
6)        Resiko tinggi infeksi b/d perawatan luka tidak efektif.
7)        Resti kekurangan volume cairan b/d pendarahan.

3.      Fokus Intervensi
Fokus intervensi di dasarkan oleh diagnosa keperawatan yang muncul pada teori.

1)      Gangguan rasa nyaman nyeri muncul akibat jaringan kulit , jaringan otot, jaringan saraf terinfeksi oleh bakteri pathogen. Penggandaan zat-zat racunnya sehingga mengakibatkan perubahan neurologis yanng sangat besar.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
KH :
§  pasien melaporkan reduksi nyeri dan hilangnya nyeri setelah tindakan penghilang nyeri.
§  Pasien rileks.
Dapat istirahat / tidur dan ikut serta dalam aktifitas sesuai kemampuan.
Intervensi :
1)      Kaji tanda tada vital.
2)      Lakukan ambulasi diri.
3)      Ajarkan teknik distraksi dann relaksasi misalnya nafas dalam.
4)      Berikan obat sesuai petunjuk.

2)      Gangguan istirahat tidur kurang dari kebutuhan b/d nyeri. Gangguan kebutuhan istirahat dan tidur adalah gangguan jumlah kualitas tidur. 
Tujuan : gangguan istirahat tidur tetasi
KH :
§  Mengatakan peningkatan rasa segar, tidak pucat, tidak ada lingkar hitam pada mata.
§  Melaporkan perbaikan dalam pola tidur. 
Intervensi :
1)        Kaji penyebab nyeri / gangguan tidur.
2)        Berikan posisi nyaman pada klien.
3)        Anjurkan minum hangat.
4)        Kolabirasi dengan keluarga untuk menciptakan lingkungan tenang.



3)      Gangguan eliminasi BAB / konstipasi b/d penurunan mobilitas usus aadalah suatu penurunan frekwensi defekasi yag normal pada seseorang, di sertai gangguan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering. 
Tujuan : tidak terjadi konstipasi.
KH :
§  pasien mempertahankan / menetapkan pola nominal fungsi usus.
§  Konsistensi feses normal.
§  Perut tidak kembung.
Intervensi :
1)        Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltik usus.
2)        Anjurkan untuk ambulasi sesuai kemampuan.
3)        Berikan obat laksatif pelembek feses bila di perlukan.

4)      Gangguan mobilitas fisik b/d kelemahan otot
Tujuan : mempertahankan mobilitas fisik
KH :
1)      mempertahankan meningkatkan kekuatan dan fungsi atau bagian tubuh yang terkena.
2)      Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang di ajarkan.
3)      Kemungkinan melakukan aktifitas.
Intervensi :
1)      Kaji kemampuan secara fungsional / luasnya kerusakan awal.
2)      Bantu dalam aktifitas perawatan diri.
3)      Pantau respon pasien terhadap aktivitas.

5)      Gangguan integritas kulit b/d kerusakan jaringan.
Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi individu yang mengalami perubahan dermis dan atau epidermis .
Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit.
KH :
1)      Bebas tanda tanda infeksi.
2)      Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
Intervensi :
1)      Kaji / catat ukuran, warna keadaan luka, perhatikan daerah sekitar luka.
2)      Ajarkan pemeliharaan luka secara aseptik.
3)      Observasi tanda-tanda infeksi.

6)      Resiko infeksi sekunder b/d perawatan luka tidak efektif.
Resiko infeksi adalah suatu kondisi yang beresiko mengalami peningkatan terserang organisme pathogenik.
Tujuan : tidak terjadi infeksi lebih lanjut.

KH :
Tidak terdapat tanda tanda infeksi lebih lanjut dengan luka bersih tidak ada pus.
Intervensi :
1)      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
2)      Pantau ssuhu tubuh secara teratur.
3)      Berikan antibiotik secara teratur.

7)      Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d pendarahan.
Tujuan : Volume cairan terpenuhi
KH :
1)        Keseimbangan cairan yang adekuat ditandai dengan TTV yang stabil , turgor, kulit normal, membran rukosa lembab, pengeluaran urine yang sesuai.
 Intervensi :
1)      Kaji pengeluaran dan pemasukan cairan.
2)      Pantau tanda-tanda vital.
3)      Catat munculnya mual muntah.
4)      Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
5)      Pantau suhu kulit, palpasi, denyut perifer.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Pediatrik Klinis. (terjemahan) Edisi 6. EGC: Jakarta.

Chada, P.V. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Forensik & Teknologi (Terjemahan). Widya Medika: Jakarta.

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Terjemahan). Edisi EGC: Jakarta.

Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran (Terjemahan). Edisi 9. EGC: Jakarta.

Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Medika Auskulapius FKUI: Jakarta.

Nanda. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima Medika: Jakarta.

Willson.J.M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 7. EGC: Jakarta.

Tucker.S.M. 1998. Standar Keperawatan Pasien Proses Keperawatan Diagnosa dan Evaluasi (Terjemahan). Volume 2. Edisi 2. EGC: Jakarta.


sumber : http://amarayah.blogspot.com/2013/06/laporan-pendahuluan-vulnus-laceratum.html

Laporan Pendahuluan Cedera Kepala (Head Injury)

CEDERA KEPALA


Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mepunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.

Klasifikasi  Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank  mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)

Tabel 1.       Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala    berdasarkan Nilai Skala Koma Glasgow (SKG)
Penentuan
keparahan
Deskripsi
Minor/ Ringan
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma
Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial
sumber :keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226


Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1.         Membuka Mata
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada

4
3
2
1
2.         Respon Verbal
Orientasi baik
orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
 Tidak ada respon

5
4
3
2
1
3.         Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon

6
5
4
3
2
1
Total
3 - 15

Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi:
k       Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari 30 menit.
k       Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
k       Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.

Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.

Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku  terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor yang menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1.      Hematoma intrakranial
a.       Epidural
b.      Subdural
c.       Intraserebral
d.      Subarahnoid
2.      Pembengkakan otak
Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.
3.      Herniasi : tentorial dan tonsiler
4.      Iskhemi serebral, akibat dari:
·         Hipoksia / hiperkarbi
·         Hipotensi
·         Peninggian tekanan intrakranial
5.      Infeksi : Meningitis, abses serebri

Tipe trauma kepala
a.   Trauma kepala terbuka
1)      Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.
2)      Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
3)      Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
4)      Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.
5)      Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway).

b. Trauma kepala tertutup
1)   Komotio serebri (gegar otak)
Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic.
2)      Edema serebri traumatic
 Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat.
3)      Kontusio serebri
Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak.
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).


4. Perdarahan  Intrakranial
a)   Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progesif disertai kelainan neurologis unilateral. Kemudian gejala neurologis timbul secara progesif berupa pupil anisokor, hemiparese, papiledema dan gajala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebelar dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
b)     Perdarahan Subdural
Terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa terjasi perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya perdarahan akibat pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek serebri dan sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun dapat pula terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.
Gejala yang sub akut tidak sejelas yang gejala akut. Perdarahan subdural menjadi simptomatik dalam 3 hari disebut akut, jika gejala timbul antarqa 3 sampai 21 hari disebut subakut, sedangkan lebih dari 21 hari disebut kronik.
 Gejala yang paling sering pada akut adalah nyeri kepala, mengantuk, agitasi cara berpikir yang lambat dan bingung. Gejala yang paling sering pada kronik adalah nyeri kepala yang semakin berat, cara berpikir yang lambat, bingung, mngantuk. Pupil edema dapat terjadi dan pupilipsilateral dilatasi dan refleka cahaya menurun, Hemiparese sebagai tanda akhir biasa ipsilateral atau kontralateral tergantung pada a[akah lobus temporal mengalami herniasi melalui celah tentorum dan menekan pendukulus serebri kontralateral.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosinyapun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
c)      Perdarahan subarahnoid
Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan subfebril.
Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma. Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.


Manifestasi Klinis
1.      Gangguan kesadaran
2.      Konfusi
3.      Abnormalitas pupil
4.      Awitan tiba-tiba defisit neurologik
5.      Perubahan tanda vital
6.      Gangguan penglihatan dan pendengaran
7.      Disfungsi sensory
8.      Kejang otot
9.      Sakit kepala
10.  Vertigo
11.  Gangguan pergerakan
12.  Kejang
Evaluasi Diagnostik
1.      CT scan
2.      MRI
3.      Angiografi cerebral

Penatalaksanaan
1.      Tindakan terhadap peningkatan TIK
a.       pemantauan TIK dengan ketat
b.      oksigenasi adekuat
c.       pemberian mannitol
d.      penggunaan steroid
e.       peningkatan kepala tempat tidur
f.       bedah neuro
2.      Tindakan pendukung lain
a.       dukungan ventilasi
b.      pencegahan kejang
c.       pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi
d.      terapi antikonvulsan
e.       klorpromazin à menenangkan pasien
f.       selang nasogastrik

Proses Penatalaksanaan pada Trauma Kepala yang Memerlukan Tindakan Bedah  Saraf :
Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah saraf, merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tahapan yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga sampai pada pengambilan putusan untuk melakukan tindakan pembedahan. Dalam hal ini meliputi 4 tahapan, tahapan-tahapan tersebut meliputi:
1.      Tahap I
a.       Penilaian awal dan Pertolongan pertama
Penilaian awal, prioritas penilaian :
·         Airway
·         Breathing
·         Circulation
·         Periksa adanya kemungkinan kelainan atau perdarahan
·         Tentukan hal-hal sebagai berikut:
#    Lamanya tak sadar
#    Lamanya amnesia post-trauma
#    Sebab-sebab cedera
#    Adanya nyeri kepala, muntah
·         Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Pertolongan pertama yang segera dilakukan bila terjadi gangguan pernafasan, sirkulasi dan atau gangguan kesadaran:
·         Membebaskan jalan nafas agar tetap terbuka dan bebas
·         Mengontrol atau mengendalikan perdarahan
·         Menanggulangi renjatan (shock)
·         Monitor EKG
b.      Diagnosis
·         Pemeriksaan Laboratorium
Hb, hematokrit, eritrosit, lekosit, trombosit, elektrolit, gula darah, BUN, ureum, kreatinin, masa perdarahan dan penjendalan, golongan darah dan AGD.
·         Pemeriksaan penunjang yang khusus
#    Foto kepala
#    Foto servikal
#    Pada trauma multiple perlu dilakukan foto abdomen dan ekstremitas
#    Angiografi Serebral
#    CT scan
#    Burr holes/trepanasi eksplorasi
c.       Indikasi Konsultasi Bedah Saraf (Teddy & Anslew, 1989)
·         Coma yang berlangsung lebih dari 6 jam
·         Penurunan kesadaran atau gangguan neurologik progresif
·         Penderita belum sadar kembali setelah dirawat 24 jam
·         Adanya tanda-tanda neurologik fokal, termasuk yang sudah ada sejak saat terjadinya cedera kepala.
·         Adanya kejang fokal atau umum setelah trauma.
·         Fraktur impresi terbuka / tertutup
·         Perdarahan intrakranial
2.      Tahap II: Observasi perjalanan klinis dan Perawatan suportif
3.      Tahap III
a.       Indikasi pembedahan
·         Perlukaan pada kulit kepala
·         Fraktur tulang kepala
·         Hematoma intrakranial
·         Kontusio jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan atau laserasi otak
·         Subdural higroma
·         Kebocoran cairan serebrospinal
b.      Kontaindikasi
·         Adanya tanda-tanda renjatan (Shock), ini biasanya bukan karena trauma kepalanya tetapi karena sebab-sebab lain, misalnya ruptur alat viscera (Hepar, lien, ginjal) atau fraktur berat pada ekstremitas.
·         Penderita dengan trauma kepala yang pada waktu masuk rumah sakit pupil sudah dilatasi maksimal dan reaksi cahaya negatif, denyut nadi dan respirasi irregular.
c.       Tujuan Pembedahan
·         Untuk mengeluarkan bekuan darah dan atau jaringan otak yang nekrotik
·         Untuk mengangkat bagian tulang yang menekan atau masuk ke jaringan otak
·         Untuk mengurangi tekanan intrakranial
·         Untuk mengontrol perdarahan
·         Untuk menutup durameter atau memperbaiki durameter yang rusak
·         Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infeksi atau untuk kepentingan segi kosmetik.
d.      Persiapan Pembedahan
·         Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
·         Pasang infus
·         Observasi tanda-tanda vital
·         Pemeriksaan laboratorium
·         Pemberian antibiotik profilaksi
·         Pasang kateter
·         Pasang NGT
·         Terapi untuk menurunkan TIK
·         Pemberian antikonvulsan
4.      Tahap IV
a.       Pembedahan spesifik
·         Perlukaan pada kulit prinsipnya dilakukan “debridemen”
·         Pada lesi desak ruang intrakranial traumatic pada prinsipnya dilakukan kraniotomi yang cukup luasnya.
#    Pada Hematom Epidural biasanya dilakukan.
-          Trepanasi
-          Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi
Bila diagnosa dengan CT scan yang menunjukkan lesi dengan jelas, cukup dengan kraniotomi yang terbatas. Pada epidural hematom yang lebih tebal <1,5 – 1 cm, belum perlu tindakan operasi.
#    Pada Hematom Subdural
Pada Hematom Subdural akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan kraniektomi atau membuat lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom subdural yang kronis.
#    Pada Hematom intraserebral dan kontusio serebri dengan efek massa yang jelas
Dilakukan tindakan kraniotomi yang cukup luas.
-          Bila terdapat kontusio dengan diameter > 1 cm, dipermukaan korteks hendaknya diisap sampai batas jaringan otak yang sehat.
-          Menimbulkan efek massa yang jelas
-          Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 4-5 mm
-          Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm
-          Menunjukkan peninggian tekanan intrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan dengan gangguan neurologik yang progresif.
Pada hematoma intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara konvensional dan aspirasi.
#    Pada intraventrikuler hematoma
-          Kraniotomi – aspirasi hematom
-          Trepanasi – drenase ventrikuler
-          Bila timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikulo-peri-toneal shunt.
Prognosis buruk bila GCS < 8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih baik kira-kira 86 % hidupnya tidak tergantung orang lain.
#    Pada subdural higroma
#    Pada Rhinorrhea
#    Pada Laserasi otak
#    Pada fraktur tulang kepala terbuka
#    Pada fraktur yang menekan tertutup
b.      Evaluasi: komplikasi yang perlu diperhatikan:
·         Perdarahan ulang
·         Kebocoran cairan otak
·         Infeksi pada luka atau sepsis
·         Timbulnya edema serebri
·         Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
·         Nyeri kepala setelah penderita sadar
·         Konvulsi
c.       Outcome
Outcome akibat trauma kepala, walaupun sudah dilakukan tindakan operasi tergantung beberapa factor diantaranya:
·         Saat dilakukan operasi
·         Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran
·         Faktor usia
·         Tergantung tanda-tanda vital waktu masuk
·         Tergantung pada peninggian intrakranial
·         Tergantung pada factor hematom: jenis, sifatnya, volume dan lokalisasinya, misalnya:
#    Outcome epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada epidural hematomnya (Guillermann, 1996)
#    Volume hematom epidural (EDH)
EDH < 50 cc         à  mortalitasnya 12 %
EDH 50 – 100 cc à  mortalitasnya 33 %

EDH > 100 cc       à  mortalitasnya 66 %
google-site-verification: googlee8312c6eb61e70e9.html