BAB II
PEMBAHASAN
EMFISEMA
PARU-PARU
A. Definisi
Penyakit
paru-paru obstruktif kronik atau Chronic Obstruktif Pulmonaly Disease (COPD)
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ke tiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan sebutan COPD salah satunya
adalah Emfisema Paru-Paru. Emfisema paru-paru merupakan gangguan pengembangan
paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara distal dari bronkiolus terminal didalam
paru-paru disertai destruksi dinding jaringannya.
B. Tipe
Emfisema
Emfisema paru-paru
dibedakan menjadi tiga tipe emfisema yaitu;
a. Emfisema
Sentrilobular (CLE)
Secara
selektif hanya menyerang bagian bronkioulus respiratorius. Dinding-dinding
mulai berlubang, membesar, menjadi satu dan akhirnya cenderung menjadi satu
ruang waktu dinding mengalami disintegrasi. Mula-mula duktus alveloris dan
sakus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini sering
menyerang bagian atas paru-paru lebih berat, tetapi akhirnya cenderung
tersebar. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Penyakit ini biasanya dikaitkan dengan
bronkialis kronik dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.
b. Emfisema
Panlobular (PLE)
Emfisema
panlobular atau emfisema panasinar mempunyai bentuk morfologis yang kurang
jamak. Dimana alveolus yang terletak distal dari bronkiolus terminalis
mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. Bila penyakit makin parah,
maka semua komponen dari asinus sedikit demi sedikit menghilang sehingga akhirnya
hanya tinggal beberapa lembar jaringan saja, yang kebanyakan terdiri dari
pembuluh-pembuluh darah. PLE mempunyai gambaran yang khas, yaitu tersebar
merata diseluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang
lebih parah. PLE dan bukan CLE, di kaitkan sekelompok kecil pasien yang
menderita emfisema primer. Jenis emfisema ini ditandai dengan peningkatan
resistensi jalan udara yang berlangsung lambat tanpa disertai adanya bronchitis
kronik. Di Inggris tercatat kurang dari 6 % pasein yang mengalami COPD mendapat
serangan emfisema primer, yang menyerang baik wanita maupun pria. Penyebabnya
bentuk emfisema ini tidak dapat diketahui, tetapi telah diketahui bentuk
familiar yang berkaitan dengan defisiensi enzim antitrypsin. Jenis penyakit ini
timbulnya dini biasanya memperlihatkan gejala-gejala antara usia 30 dan 40
tahun.
Emfisema
panlobular, walaupun merupakan ciri khas dari emfisema akibat usia tua dan
bronchitis kronik. Diduga bahwa gangguan serabut elastik dan serabut retikular
dari paru-paru disertai menghilangnya kemampuan memgas paru-paru secara elastis
sehingga mengakibatkan peregangan paru-paru progresif pada proses penuaan.
Tetapi emfisema senilis bukan emfisema sejati, karena sebagian besar pasien
yang sudah tua ini tak mengalami gangguan fungsi paru-paru yang berarti.
Emfisema sentrilobular yang dihubungkan dengan bronchitis kronik dianggap
merupakan tahap akhir dari emfisema sentrilobular progresif, karena ke dua
gambaran morfologis tersebut dapat timbul pada paru-paru yang sama. Kalau
toraks pasien yang menderita emfisema dibuka selama pmbedahan atau autopsi,
paru-paru tampak sangat membesar. Paru-paru tetap terisi udara dan tak kolaps.
Warnanya lebih putih dari pada warna normal, dan terasa menggelembung serta
halus seakan berbulu. Seringkali terlihat bleb yaitu rongga subpleura, yang
terisi udara serta bullae yaitu rongga parenkim yang terisi udara yang
diameternya lebih besar dari 1 cm. kecuali itu rongga dada juga mengalami
dilatasi merata.
PLE dan CLE seringkali
ditandai oleh bullae, tetapi bullae ini dapat juga timbul karena katup pengatur
bronkus mengalami penyumbatan. Pada inspirasi, lumen bronkiolus melebar
sehingga udara dapat melalui penyumbatan yang diakibatkan karena penebalan
mukosa dan karena banyaknya mucus.
Gambar.
berbagai emfisema panlobulor seluruh lobulus primer terserang
Tetapi
pada waktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menjadi lebih sempit,
sehingga sumbatan itu dapat mengahalangi keluarnya udara. Hilangnya elastisitas
dinding bronkiolus pada emfisema paru-paru juga dapat menyebabkan kolaps
premature. Dengan demikian udara terperangkap dalam segmen paru-paru yang
terkena, sehingga mengakibatkan pelebaran berlebihan serta penggabungan
beberapa alveolus. Ini disebabkan karena fragmentasi jaringan elastic
interalvelor, disertai rusaknya sekat interalvelor yang sudah menipis,
sehinngga akhirnya terbentuk suatu bula. Pada emfisema dapat timbul satu bula
atau banyak bula yang dapat atau tidak dapat berkomunikasi satu dengan yang
lainnya, Bleb yang terbentuk akibat rupture alveoli, dapat pecah kedalam rongga
pleura sehingga menyebabkan pneumotoraks spontan (kolpas paru-paru).
Perubahan-perubahan lain yang sering ditremukan pada paru-paru yang menderita
COPD adalah pengurangan jaringan kapiler dan bukti histologis adanya
bronkiolitis kronik (bronkiolus kecil terserang).
Perjalan
kelinik dari pasien-pasien yang menderita COPD berkisar dari apa yang dikenal
dengan nama “pink puffers” sampai “blue bloaters”. Tanda klinik dari “pink puffers”
(berkaitan dengan emfisema) adalah timbulnya dispena tanpa disertai batuk dan
pembentukan seputum yang berarti. Biasanya dispena mulai timbul antara 30
sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit yang sudah
lanjut, pasien mungkin begitu kehabisan napas sehingga ia tidak dapat makan
lagi sehingga tubuhnya tanpak kurus, dan tak terurus. Pada perjalanan penyakit
lebih lanjut “pink puffers” dapat berkembang menjadi bronchitis kronik
sekunder. Dada pasien berubah bentuk bagian bagaikan tong; diagram rendah dan
bergerak tak lancer. Polisitemia dan sianosis jarang ditemukan (karena itu
keadaan tersebut dinamaka “pink”), sedangkan corpulmole (penyakutr jantung yang
diakibatkan hipertensi pulmoner dan penyakit paru-paru) jarang ditemukan sebelum
penyakit sampai pada tahap terakhir. Gangguan kaseimbangan ventilasi dan
perfusi minimal, sehingga dengan hiperventilasi keadaan “pink puffers” ini
biasanya dapat mempertahankan gas-gas darah dalam keadaan normal sampai
penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru-paru biasanya membesar sekali sehingga
kapasitas paru-paru total dan volume residu meningkat.
Gambar. Bleb dan bulla(e) pulmonare.
Pada
COPD yang ektrim didapatkan pasien-pasien yang dapat digolongkan pada mereka
yang menderita “blue bloaters” (bronkitis yang hampir tidak disertai dengan
bukti adanya empisema obstruktif). Pasien-pasien ini biasanya menderita batuk
produktif dan juga berulangkali menderita infeksi pernapasan yang dapt
berlangsung selama bertahun-tahun sebelum mulai tampak gangguan fungsi. Tetapi
pada akhirnya timbul gejala dispnea, pada pasien melakukan kegiatan fisik.
Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala pengurangan kekuatan pernapasan. Mereka
hipoventilasi yang mengalami hipoksia serta hiperkapnia. Kecuali itu tampak juga
gangguan rasio ventilasi atau perfusi. Hipoksia kronik merangsang ginjal untuk
membentuk eritropointin yang selanjutnya merangsang pembentukan sel-sel darah
merah berlebihan. Keadaan ini akan menimbulkan polisitemia sekunder. Kadar
hemoglobin mungkin akan mencapai kada 20g per 100 ml atau lebih, sehingga
sianosis jauh lebih mudah terlihat
akibat hemoglobin tereduksi yang jumlahnya 5g per 100 ml mudah tercapai karena
hanya sebagian kecil dai hemoglobin yang bersirkulasi berada dalam bentuk
tereduksi (karena itu dinamakan blue bloaters). Karena pasien-pasien ini tidak
mengalami dispena pada waktu istirahat, maka tampaknay mereka sehat. Biasanya
berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal. Kapasitas total
paru-paru mungkin normal, sedangkan dipragma berada dalam posisi normal.
Kemaian biasanya diakibatkan oleh corpunale (yang timbul dini) atau akibat
kegagalan pernapasan. Pada autopsy seringkali, meskipun tak selalu, ditemukan
empisema cenderung berbentuk sentrilobular, meskipun mungkin juga terdapat
empisema panlobular.
Sifat
perjalanan COPD yang has adalah lama, dimulai pada usia 20-30 tahun dengan
“batuk merokok”, atau “batuk pagi” disertai pembentuk sedikit sputum mukoid.
Pasien ini menderita infeksi pernapasan ringan yang menetap dan lebih lama.
Akhirnya serangan bronchitis akut makin sering timbul, terutama pada musim
dingin, dan kemampuan kerja pasien berkurang, sehingga pada waktu pasien
mencapai usia sekitar 50-60 mungkin ia harus berhenti bekerja. Bila timbul
hiperkapnia, hipoksemia dan cor pulmonal, prognosisnya jelek, dan kematian
biasanya timbul beberapa tahun sesudah timbulnya penyakit.
Terapi
penderita bronchitis kronik dan empisema obstruktif berupa tindakan-tindakan
untuk menghilangkan obstruksi saluran udara yang kecil. Akibat empisema adalah
ireversibel, banyak penderita mengalami
bronkospasme, retensi secret dan oedema muskosa yang dapat ditanggulangi denga
terapi yang sesuai. Yang penting adalah berhenti merokok dan menghindari bentuk
lain polusi udara atau alergen-alergen yang dapat memperberat gejala-gejala
yang di deritanya. Insfeksi harus segera diobati dan pasien-pasien yang mudah
terkena infeksi pernapasan dapat langsung diberi antibiotik profilaksis.
Obat-obat yang terpilih tetrasiklin, ampisilin, dan penisilin. Semua pasien
sebaiknya mendapatkan peksin enfluensa.
Tindakan
lain untuk mengurangi obstruksi adalah memberikan hidrasi yang memadai terhadap
secret bronkus yang berkurang, memberikan ekspektoran da pemberian
bronkodilator untuk meredakan spasme otot polos. Pada pasien denga banyak
secret, dilakukan perkusi dan dranase postural untuk membuang secret yang
menyumbat tersebut, yang dapat merupakan prodisposisi infeksi. Latiaha bernapas
dapat juga membantu. Program latihan fisik yang bertahap disertai pemberian
oksigen kadar rendah dapat membantu meningkatkan kesehatan kesan sehat dari
pasien. Tetapi oksigen harus diberikan dengan hati-hati apabila pasien sudah
mencapai tahap lanjut penyakit, yaitu dimana suda timbul gejala hiperkapnia dan
hipoksemia. Kegaalan pernapasan pad pasien ini dapat dipercepat, tergantung
pada sebagai rangsang pernapasan.
c. Emfisema
Paraseptal
Emfisema
paraseptal ini merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema
dipercaya sebaagai sebab dari peneumeotoraks spontan. Pada keadaan lanjutan,
terjadi peningkatan dyspnea dan inspeksi pulmoner dan sering kali timbul Cor
Pulmonal (CHF bagian kanan).
C. Patofisiologi
Emfisema
merupakan kelainan diman terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan
menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akanterganggu
akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan
akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan napas
kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengkerutatau recoil. Pada
saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolus
(disebut blebs) dan diantara parenkim paru-paru (disebut bullae). Proses ini
akan menyebabkan peningkatan ventilator pada ‘dead space’ atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja
napas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru
untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Emfisema juga menyebabkan destruksi
kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi dengan usia, tetapi
jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan
bronchitis kronis dan merokok.
Gambar.
Emfisema Paru-Paru
D. Pathogenesis
Terdapat empat
perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema, yaitu :
a. Hilangnya
elastisitas paru-paru.
Protease (enzim
paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan saluran napas kecil dengan cara
merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya, kantung alveolus kehilangan
elastisitasnya dan jalan napas kecil menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa
alveoli menjadi rusak dan yang lainnya kemungkinan menjadi membesar.
b. Hiperinflasi
paru-paru
Pembesaran alveoli
sehingga paru-paru sulit untuk dapat kembali keposisi istirahat normal selama
ekspirasi.
c. Terbentuknya
Bullae
Dinding alveolus
membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruang tempat udara
diantara parenkim paru-paru) yang dapat dilihat pada pemeriksaan x- ray.
d. Kolapsnya
jalan napas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien berusaha
untuk ekhalasi secara kuat, tekanan positif intratoraks akan menyebabkan
kolapsnya jalan napas.
E. Manifestasi
Klinik
a. Penampilan
Umum
1. Kurus,
warna kulit pucat, dan flattened
hemidiafragma
2. Tidak
ada tanda CHF (Congestive Hert Failure) kanan dengan edema dependen pada
stadium akhir.
b. Usia
65-75 tahun.
c. Pengkajian
fisik
1. Napas
pendek persistem dengan peningkatan dispnea.
2. Inspeksi
system respirasi.
3. Pada
auskultasi terdapat penururnan suara napas meskipun dengan napas dalam.
4.
Wheezing
ekspirasi
tidak ditemukan dengan jelas.
5. Jarang
produksi sputum dan batuk.
d. Pemeriksaan
Jantung
1. Tidak
terjadi pembesaran jaantung. Cor pulmonal timbul pada stadium akhir.
2. Hematokrit
< 60%
e. Riwayat
Merokok
Biasanya terdapat
riwayat merokok, tapi tidak selalu.
F. Manjemen
Medis
Penatalaksanaan utam
pada pasien dengan emfisema adalah unntuk meningkatkan kualitas hidup,
memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran
napas yang berguna untuk mengatasi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup:
a. Pemberian
terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas.
b. Mencegah
dan mengobati inspeksi.
c. Teknik
terapi fisik untuk memprbaiki dan meningkatkan ventilasi paru-paru.
d. Memlihara
kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk mempasilitasi pernapasan.
e. Pendidikan
kesehatan pasien dan rehabilitasi.
G. Pengkajian
Diagnosis COPD
1. Chest
X-ray, dapat menunjukan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar, peningkatan
ruang udara retrosternal, penurunan tanda vascular atau bullae (emfisema),
peningkatan bentuk bronkovaskular (bronchitis), dan normal ditemukan saat
remisi (asma).
2. Pemeriksaan
Fungsi Paru-Paru
Dilakuakan untuk
menentukan penyebab dari dispnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat
obstruksi atau retriksi, memprkirakan tingkat disfungsi, dan unntuk
mengevaluasi efek dari terapi, missal bronkodilator.
3. TLC
Meningkat pada
bronchitis berat dan biasanya pada asma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas
Inspirasi
Menurun pasa emfisema.
5. FEV1/FVC
Untuk mengetahui rasio
tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC), rasio
menjadi menurun pada bronchitis dan asma.
6. ABGs
Menunjukan proses
penyakit kronis, seringkali PO2 menurun dan PCO2 normal atau meningkat
(bronchitis kronis dan emfisema). Sringkali menurun pada asma dengan pH normal
atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma).
7. Bronkogram
Dapat menunjukan
dilatasi dari bronkhus saat inspirasi, kolaps bronchial pada tekanan ekspirasi
(emfisema), dan pembesaran kelenjar mucus (bronchitis).
8. Darah
Komplit
Dapat mengambarkan
adanya peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil
(asma).
9. Kimia
Darah
Menganalisis keadaan
alpha 1-antitrypsin yang kemungkinannya berkurang pada emfisema primer.
10. Sputum
Kultur
Untuk menentukan adanya
infeksi, mengidentifikasi pathogen, dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan
penyakit keganasan atau alergi.
11. Elektro
Cardio Graph (ECG)
Deviasi aksis kanan
gelombang P tinggi (pada pasien dengan asma berat dan atrial
disritmia/bronchitis), gelombang P pada Leads II, III, AVF panjang da tinggi
(bronchitis dan emfisema) dan axis QRS vertical (emfisema).
12. Pemeriksaan
ECG Setelah Olahraga dan Stress Test
Membantu dalam mengkaji
tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan atau evaluasi program.
H. MEKANISME
PENYAKIT
Asap
tembakau dan polusi udara
|
|
Predisposisi
genetic (defisiensi antitrifsin)
|
|
Factor-faktor
yang tidak diketahui
|
|
|
|
Gangguan pembersihan paru-paru
|
|
Sekat
dan jaringan penyokong hilang
|
|
Seumur
hidup
|
|
|
|
Perdangan
bronkus dan bronkhiolus
|
|
Saluran
napas kecil kolaps saat ekspirasi
|
|
|
|
Obstruksi
jalan napas akibat peradangan
|
|
PLE
(emfisema panlobular)
|
|
PLE
asimtomatik pada orang tua
|
|
|
|
Hipoventilasi
alveolus
|
|
Dinding
bronkhiolus melemah dan alveoli pecah
|
|
|
|
Bronkhiolus
kronis
|
|
Saluran napas kecil kolaps sewaktu
ekspirasi
|
|
|
|
CLE
Bronkhitis kronis
|
|
CLE
(Emfisema Sentriolobular)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
F.
Rencana Asuhan Keperawatan Pada Pasien COPD
No
|
Diagnose
keperawatan
(NANDA)
|
|
Perencanaan
|
Tujuan
(NOC)
|
Intervensi
(NIC)
|
1.
|
Bersihan
jalan napas tidak efektif
Yang berhubungan dengan:
1.
Bronkospasme
2.
Peningkatan produksi secret
(secret yuang tertahan, kental)
3.
Menurunnya energy atau fatigue
Data-data:
1.
Pasien mengeluh sulit untuk
bernapas
2.
Perubahan kedalaman atau jumlah napas,
dan penggunaan otot bantu pernapasan
3.
Suaa napas abnormal separti:
wheezing, ronchi, dan crackles
4.
Batuk (persisten) atau tanpa
produksi sputum
|
Setatus
respirasi:
Kepatenan jalan napas dengan sekala
………..
(1-5) setelah diberikan perawat selama
…….
Hari dengan kriteria:
a. Tidak
ada deama
b. Tidak
ada cemas
c. RR
(respiratory rate) dalam batas normal
d. Irama
napas dalam batas normal
e. Pergrakan
seputum keluar dari jalan napas
f. Bebas
dari suara jalan napas tambahan
|
a.
Manajemen jalan napas
b.
Penurunan kecemasan
c.
Pencegahan aspirasi
d.
fisioterapi dada
e.
latihan batuk efektif
f.
terafi oksigen
g.
Pemberian posisi
h.
Memonitor respirasi
i.
Memonitor keadaan umu
j.
Memonitor tanda vital
|
2.
|
Kerusakan
pertukaran gas yang berhubungan dengan:
1.
Kurangnya suplai O2 (obstruksi
jalan napas oleh secret, bronkospasme, dan terperangkapnyaa udara)
2.
Destruksi alveoli
Data-data:
1.
Dispnea
2.
Bingung, lemah
3.
Tidak mampu mengeluarkan secret
4.
Nilai ABGs abnormal (hipoksia dan
hiperkapnia)
5.
Perubahan tanda vital
6.
Menurunnya toleransi aktivitas
|
Setatus
respirasi:
Pertukaran gas dengan sekala …. (1-5)
setelah diberikan keperawatan selama …… hari dengan criteria:
a.
Setatus mental dalam batas normal
b.
Bernapas dengan mudah
c.
Tidak ada sianosis
d.
PO2 dan PCO2 dalam batas normal
e.
Saturasi O2 dalam rentang normal
|
a. Manajemen
jalan dan basa tubuh
b. Manajemen
jalan napas
c. Latihan
batuk
d. Peningkatan
aktivitas
e. Terapi
oksigen
f. Memonitor
respirasi
g. Memonitor
tanda vital
|
3.
|
Ketidak
seimbamgan nutrisi:
Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh.yang berhubungan dengan:
1.
Dispnea , fatigue
2.
Efeksamping pengobatan
3.
Produksi seputum
4.
Anoreksia, nausea atau vomiting
Data:
1.
Penurunan berat badan
2.
Kehilangan masa otot, tonus otot
jelek
3.
Dilaporkan adanya perubahan
sensasi rasa
4.
Tidak nafsu untuk makan dan tidak
tertarik makan
|
Setatus
nutrisi:
Intake cairan dan makanan gas dengan
sekala …… (1-5) setelah diberikan perawat selama ……. Hari dengan criteria:
a. Intake
makanan dengan sekala ….. (1-5) (adekuat)
b. Intake
cairan per oral (1-5) (adekuat)
c. Intake
cairan (1-5) (adekuat)
Status nutrisi:
Intake nutrient gas dengan sekala
….. (1-5) setelah diberikan perawat selama …… hari dengan criteria:
a.
Intake kalori (1-5) (adekuat)
b.
Intake protein, karbohidrat, dan
lemak (1-5) (adekuat)
Control berat badan
Gas dengan sekala…….(1-5) setelah
diberikan perawat selama …… hari dengan keriteria:
a. Mampu menjaga intake kalori secara optimal(1-5)
(menunjukan)
b. Mampu menjaga keseimbanagan cairan (1-5) (menunjukan)
c.
Mampu mengontrol intake makanan secara adekuat (1-5) (menunjukan)
|
a.
Manajemen cairan
b.
Memononitor cairan
c.
Status diet
d.
Manajemen gangguan makan
e.
M,anajemen nutrisi
f.
Terapi nutrisi
g.
Konseling nutrisi
h.
Pengaturan nutrisi
i.
Terapi menelan
j.
Memonitor tanda vital
k.
Bantuan untuk peningkatan BB
l.
Manejemen nerat badan
|
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
Kesimpulan
Emfisema
paru-paru merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh
pelebaran ruang udara distal dari
bronkiolus terminal didalam paru-paru disertai destruksi dinding jaringannya. Emfisema terbagi menjadi tiga tipe, yaitu:
a. Emfisema
Sentrilobular (CLE)
Secara selektif hanya menyerang bagian bronkioulus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, menjadi satu dan
akhirnya cenderung menjadi satu ruang waktu dinding mengalami disintegrasi.
b. Emfisema
Panlobular (PLE)
Emfisema panlobular atau emfisema panasinar
mempunyai bentuk morfologis yang kurang jamak. Dimana alveolus yang terletak
distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara
merata.
c. Emfisema
paraseptal
Ini
merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara
dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru.
B.
Penutup
Demikianlah
makalah ini kami susun, semoga bermanfaat dan mohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan dalam penyusunan kata-kata ataupun dari isi makalahnya. Dan
kami juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kelancaran
pembuatan makalah kami yang selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
1. Robin,
L, Stanley. 2008. Dasar patologi penyakit. Binarupa Aksara. Jakarta.
2. Price,
Silvia A. 2008.
Patofisiologi. Edisi 2. Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Somantri, Imran.
2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta Salemba Medika.
4. Tanbayong, jan. 2000. Patofisiologi untuk
keperawatan. EGC. Jakarta.
5. http.//www.emfisema.com